Senin, 11 Desember 2017

PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK REMAJA USIA 16-18 TAHUN

1.      Perkembangan Sosial
Salah satu tugas perkembangan remaja yang sulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.
Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak membuat penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.
Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik dilingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk  menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Karena remaja lebih banyak berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga.
Dan karena keremajaan itu selalu maju, maka pengaruh kelompok sebayapun mulai akan berkurang. Hal ini disebabkan karena ada dua faktor, yaitu:
a.    Sebagian besar remaja ingin jadi individu yang berdiri diatas kaki sendiri, dan ingin dikenal sebagai individu yang mandiri. Upaya bagi penemuan identitas diri yang tadi sudah dibahas melemahkan pengaruh kelompok sebaya pada remaja.
b.   Timbul dari akibat pemilihan sahabat, remaja tidak lagi berminat dalam berbagai kegiatan seperti pada waktu berada pada masa kanak-kanak. Karena kegiatan sosial kurang berarti dibandingkan dengan persahabatan pribadi yang lebih erat, maka penagruh kelompok sosial yang besar menjadi kurang menonjol dibandingkan penagur teman-teman.
Ada sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan social remaja, yaitu sebagai berikut:
a.  Berkembanganya kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan.
Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial, karena sepanjang masa remaja hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan diri akan kemampuan kemandiriannya.
b. Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial.
Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksi terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma-norma tertentu pula. Bagi remaja yang idealis dan memiliki kepercayaan penuh akan cita-citanya, menurut norma-norma sosial yang mutlak meskipun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal. Sebaliknya bagi remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan cenderung menyerah atau bahkan apatis. Namun ada kemungkinan seseorang tidak akan menuntut norma-norma sosial yang demikian mutlak, tetapi tidak pula menolak seluruhnya.
c.  Meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis.
Masa remaja sering kali disebut sebagai masa biseksual. Meskipun kesadaran akan lawan jenis ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembang secara dominan bukanlah kesadaran jasmani yang berlainan, melainkan tumbuhnya ketertarikan terhadap jenis kelamin yang lain. Hubungan sosial yang tidak terlaku menghiraukan perbedaan jenis kelamin pada masa-masa sebelumnya, kini beralih kearah hubungan social yang dihiasi perhatian terhadap perbedaan jenis kelamin.
d. Mulai cenderung memilih karier tertentu
Sebagaimana dikatakan oleh Kuhlen bahwa ketika sudah memasuki masa remaja akhir, mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karier tertentu meskipun dalam pemilihan karier tersebut masih mengalami kesulitan. Meskipun sebenarnya perkembangan karier remaja masih berada pada taraf pencarian karier. Untuk itu remaja perlu diberikan wawasan karier disertai dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing jenis karier tersebut.
2.  Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi dan moral merupakan kaidah norma dan pranta yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik buruk yang ditentukan bagi individu olen nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota sosial.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja ini adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional format yaitu mulai mampu berpikir abstrak dan mampu memcahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis, maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi, juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang akan berlaku umum dan merumuskanya dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Disi ada lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
a. Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
b. Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah, keadilan moral sebagai kekuatan moral yang dominan
c. Penilaian moral menjadi semakin kognitif.
d. Penilaian moral menjadi kurang egosentris
e. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Lawrence E. Kohlberg, tahap-tahapan perkembangan moral dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini, anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsrikan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaragn kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peralihan.
b.  Tingkat konvensional
Pada tingkat ini, anak memandang perbuatan itu baik/benar atau berharga bagi dirinya apabila dapat memenuhi harapan/persetujuan keluarga, kelompok, atau bangsa. Disini berkembang sikap konformitas, loyalitas, atau penyesuaian diri terhadap keinginan kelompok, atau aturan sosial masyarakat.
c.  Tingkat pasca-konvensional
Pada tingkat ini ada usaha individu untuk mengartikan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang dapat diterapkan atau dilaksanakan terlepas dari otoritas kelompok, pendukung atau orang yang memegang/menganut prinsip-prinsip moral tersebut juga terlepas apakah individu yang bersangkutan termasuk kelompok itu atau tidak.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orang tua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubugan dengan perkembangan moral anak diantaranya sebagai berikut:
a. Konsisten dalam mendidik anak
b. Sikap orang tua dalam keluarga
c. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut
d. Sikap konsisten orang tua dalam menerapakan norma.
Dalam perkembangan moral ada tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan, penahapan yang ditemukan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Makinh tinggi tingkat penalaran sesorang makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
3.      Perkembangan Seksual
Peserta didik pada usia sekolah menengah (masa remaja)  berusaha secara total menemukan satu identitas, berupa perwujudan orientasi seksual yang tercermin dari hasrat seksual, emosional, romantis, dan atraksi kasih sayang kepada anggota jenis kelamin yang sama atau berbeda atau keduanya. Seseorang peserta didik yang tertarik pada anggota jenis kelamin lain disebut heteroseksual. Sebaliknya, seseorang yang terterik pada anggota jenis kelamin yang sama disebut homoseksual.
Sebagai orang yang berada pada usia remaja, peserta didik menemukan berbagai cara untuk mengekspresikan diri mereka secara seksal. Kebanyakan orang muda meredakan ketegangan seksual melalui masturbasi, yang pada usia ini dipicu atau termotivasi oleh perilaku erotis. Disamping itu banyak remaja melalukan pengungkapan seksual dengan cara lain, seperti saling petting atau aktivitas seksual selalin hubungan seksual. Petting ialah sensasi  seksual dengan titik tekan di bawah pinggang atau diatas pinggang, tapi bukan berupa hubungan seksual.
Aktivitas seksual peserta didik remaja banyak diwarnai oleh pikiran bahwa mereka sedang jatuh cinta kepada satu orang secara khusus untuk waktu yang lama, tetapi mereka tidak memiliki tingkat kematangan yang diperlukan untuk mempertahankan “hubungan intim” dan penuh kasih. Promiskuitas remaja mungkin menunjukkan masalah emosional, termasuk harga diri rendah, ketergantungan, ketidakdewasaan, atau permusuhan yang mendalam.
Pengalaman seksual mencakup pengalaman yang secara khayal ditujukan kepada hubungan jasmani dan orang yang dicenderunginya. Sehubungan dengan perkembangan erotik, Spianger mengatakan bahwa pengalaman erotik berwujud cinta yang pada dasarnya estetis. Jiwa mempersatukan diri dengan jiwa yang lain, karena mengagumi kecantikan atau kegagahan tubuh yang lain itu. Dalam tubuh yang cantik dan gagah mereka melihat adanya jiwa yang ideal.
Dari berbagai hasil studi disimpulkan bahwa masalah seksualitas pada remaja timbul karena faktor-faktor berikut, yaitu:
a.    Perubahan-perubahan hormonal yang  meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
b.    Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), mapun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan dan persiapan mental).
c.    Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah.
d.    Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih menjadi tidak terbendung lagi.
e.     Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukkan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap anak, malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu ini.
f.    Dipihak lain tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin besar antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sebagai kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

4. Perkembangan Inteligensi
Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Menurut William Stern, ia mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Inteligensi merurut David Wechsler yang dikutip oleh Sarlito, didefenisikan sebagai “ Keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif.
Sedangkan Inteligensi menurut Jean Piaget diartikan sama dengan kecerdasan, yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang komplek seperti berpikir, mempertimbangakan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan.
            Inteligensi memang mengandung unsur pikiran atau ratio, makin banyak unsur yang digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, makin berintegrasi tingkah laku tersebut. Unsur inteligensi dinyatakan dalam IQ dan dari pengukuran inteligensi yang dilakukan para ahli, maka ia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

IQ
Klasifikasi
% Diantara Penduduk Dunia
Sampai dengan 67
Terbelakang
2,2
68-79
Pembatasan
6,7
80-90
Kurang dari rata-rata
16,1
91-110
Rata-rata
50,0
110-119
Diatas rata-rata
16,1
120-127
Superior
6,7
128
Sangat superior
2,2

Dan adapun tahapan-tahapan perkembangan inteligensi menurut Piaget seperti yang telah dikutip oleh Sarlito dan yang diperjelas oleh Agus Salim Daulay adalah sebagai berikut:
a.   Periode atau Masa Sensoris Motoris (0-2,5 tahun); Masa ketika bayi mempergunakan syistem penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal lingkungan.
b.   Periode atau Masa Pra-Operasional (2,0-7,0 tahun); Ciri khasnya adalah kemampuan menggunakan symbolik.
c.    Periode atau Masa Konkrit Operasional (7,0-11 tahun); Pada tahap ini anak sudah bisa melakukan berbagai macam tugas konkrit.
d.   Periode atau Masa Formal Operasional (11 tahun-dewasa); Dalam usia remaja dan seterusnya, seseorang sudah mampu berpikir abstrak dan hipotesis. Ia bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi dan bisa mengambil kesimpulan dari suatu pernyataan.
Menurut Andi Mappiare, hal-hal yang mempengaruhi perkembangan inteligensi antara lain:
a.    Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang sehingga ia mampu berpikir reflektif.
b.    Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berpikir pra-operasional
c.   Adanya kebebasan berpikir, menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah secara keseluruhan dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.
5. Perkembangan Emosi
Dalam perilaku kita sehari-hari pada umumnya disertai dengan perbuatan, seperti perasaan senang dan tidak senang. Perasaan senang dan tidak senang yang terlalu menyertai perbuatan-perbutan kita sehari-hari disebut sebagai warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau kadang-kadang tidak jelas. Apabila warna afektif tersebut kuat, perasaan seperti itu dinamakan emosi.
Menurut Crow & Crow, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai dengan perubahan-perubahan fisik. Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan pada fisik seseorang, seperti:
a. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
b. Peredaran darah bertambah cepat bila marah
c. Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut
d. Pernafasan bernafas panjang bila kecewa
e. Pupil mata membesar bila marah
f.  Liur mengering kalau takut atau tegang
g.  Bulu roma berdiri kalau takut
h.  Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau tegang
i.   Otot menjadi ketegangan atau bergetar (tremor)
j.   Komposisi darah berubah dan  kelejar-kelenjar lebih aktif.
Masa remaja adalah masa goncang yang terkenal dengan berkecambuknya perubahan-perubahan emosional. Elizaberth mengatakan bahwa masa remaja adalah masa “badai dan takanan”. Suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar, atau perubahan jasmaniah, terutama perubahan hormon seks.
Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat, bahwa kegoncangan emosi itu tidak hanya disebabkan oleh perubahan hormon seks dalam tubuh saja, karena perubahan hormon itu mencapai puncaknya pada permulaan masa remaja awal, sementara perkembangan emosi mencapai puncaknya pada periode akhir. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa kegoncangan emosi juga dapat berakibat dari suasana masyarakat dan keadaan ekonomi lingkungan remaja.
Masa remaja dikenal dengan masa strom and stress, yaitu terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari berbagai macam pengaruh, seperti lingkungan, tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebayanya, serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penyesuaian diri terhadap lawan jenis termasuk salah satu hal yang menyebabkan kecemasan pada remaja, karena keadaan dan perasaan ini adalah hal baru. Oleh karena itu, memerlukan kemampuan untuk menyesiaikan diri, karena dapat menimbulkan ketegangan emosi. Gejala ini sebenarnya sehat bagi remaja, tetapi tidak jarang menimbulkan konflik jika tidak diikuti oleh bimbingan dari orang tua atau orang yang telah dewasa. Begitu pula dengan kehidupan disekolah, ada pula situasi yang menyebabkan tidak enaknya remaja. Seperti kegagalan dalam belajar, akan menimbulkan rasa tidak enak, cemas dan mungkin putus asa.
Diantara faktor terpenting yang menyebabkan ketegangan remaja adalah masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri. Biasanya penyesuaian diri itu didahului oleh kegoncangan emosi, karena setiap percobaan mungkin gagal atau sukses. Ketakutan atau gagal menyebabkan jiwanya goncang. Semakin banyak situasi dan suasana baru akan bertambah pula usaha untuk penyesuaian selanjutnya akan meningkat pula kecemasan.

KESIMPULAN
Masa remaja, yang berlangsung dari saat individu menjadi matang secara seksual Sampai usia delapan belas tahun-usia kematangan yang resmi-dibagi kedalam awal masa remaja, yang berlangsung sampai usia tujuh belas tahun,  dan akhir masa remaja yang berlangsung sampai usia kematangan yang resmi. Ini merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu,  periode peralihan, suatu masa peruubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang menakutkan, masa tidak realistik dan ambang dewasa.
SARAN
            Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja menimbulkan berbagai konflik batin maupun psikis. Orang tua harus benar – benar memahami konsukuensi perubahan pada remaja. Sementara itu, perawat dapat dijadikan tempat konseling untuk remaja sebagai mana peran perawat dan sebagai perawat yang menghadapi permasalahan remaja senantiasa memberikan bimbingan atau konseling yang baik atau yang tidak memojokan remaja tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar