Prasangka dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki
pengertian bahwa prasangka adalah pendapat (anggapan) yg kurang baik mengenai
sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri. Sehingga dapat
diartikan bahwa prasangka adalah suatu anggapan yang kurang baik terhadap
seseorang. Hal ini sering terjadi dalam sosialisasi dalam masyarakat.
Stereotip
adalah sebuah pandangan terhadap seseorang atau kelompok kemudian pandangan
tersebut digunakan pada setiap anggota kelompok tersebut.
Stereotip
mendasari terbentuknya prasangka.
Dasar informasi yang diyakini benar tentang
objek yang diprasangkai, biasanya merupakan stereotip. Misalkan seseorang percaya
bahwa orang yang memiliki RAS cina itu pelit, dsb.
Stereotip
muncul karena individu suka mencari kesamaan pada suatu keadaan tertentu dan
tidak dapat menilai dan mengalami sekaligus dua hal yang berbeda di tempat yang
berbeda secara bersamaan. Dengan demikian, stereotip merupakan cara ampuh untuk
melihat keadan dengan cara yang efisien, yaitu dengan cara mencocok-cocokkan.
Etik mencakup pada temuan-temuan
yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah
etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Etik merupakan
penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang
mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Dalam konseling lintas budaya
menggunakan perspektif objektif ini seorang konselor akan menggunakan dua
pendekatan kebudayaan yang berbeda terhadap klien. Penggunaan perbedaan
kebudayaan dilakukan untuk menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan
untuk menunjukkan bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan
untuk meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku
manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak
kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur kebudayaan ditemukan
sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh konselor, Umumnya
kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik kebudayaan sangat
realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan berlaku universal.
Sedangkan emik sebaliknya, mengacu
pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan
demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya
misalnya, mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang
masyarakat itu sendiri. Pada prinsipnya dalam konseling yang menggunakan
perspektif emik maka konselor “menjadikan dirinya” sebagai bagian dari
kebudayaan klien, atau dengan kata lain, konselor bertindak sebagai individu
penuh karena dia masuk dalam suatu struktur budaya tertentu. proses konseling
Pendekatan emikpun sering menyebabkan atau menjadikan konselor menarik
kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku
pada kebudayaan klien.
Karena implikasinya pada apa yang
kita ketahui sebagai kebenaran, emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat.
Kalau kita tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai
kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran
sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari budaya
apa pun.
Pendekatan emik dalam hal ini memang
menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang
sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri,
berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu
sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan
cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan
secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Jika yang kita ketahui tentang
prilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah
suatu emik (alias bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran
tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat sederhana dapat saya
simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan klien,
sedangkan etik mengacu pada pandangan konselor terhadap kebudayaan secara
keseluruhan dalam proses konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan
teori maka dalam melakukan proses hubungan konseling dengan klien, maka
pendekatan yang akan saya lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami
klien seutuhnya ini berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami
budaya klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien
dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya
keseluruhan(Etik).
Proses kegiatan konseling merupakan kegiatan yang sangat
penting bagi kehidupan individu/ kelompok dalam kehidupan masyarakat dalam hal
menangani bebagai kesulitan yang dihadapi dalam menjalani kehidupan. Kegiatan
konseling pada umumnya melibatkan antar konselor dank lien, dalam hal ini
konselor dan klien memiliki perbedaan-perbedaan khusunya dalam kebiasaan/
budaya.
Berdasarkan
konselor dan klien khusunya dalam segi latar belakang budaya, maka kegiatan
konseling juga disebut juga disebut sebagai konseling lintas budaya. Menurut
Burn, konseling lintas budaya adalah proses konseling individual yang
melibatkan konselor dank lien yang berlatar belakang budaya yang berbeda.
Apabila
dalam kegiatan konseling juga mempermasalahkan tentang latarbelakang konselor
dank lien yang tidak lain ialah budaya, maka dalam proses tersebut pula harus mempertimbangkan
bahwa dalam kehidupan bebudaya terdapat Etik dan Emik.
Etik dan Emik sangat perlu dipahami
terutama konselor, dimana Eti dan Emik sangat berpengaruh dalam proses
konseling dimana dalam proses konseling apabila seorang konselor memahami betul
tentang Etik, Emik, maka dalam prosesnya pun perbedaan dari klien dapat
dianggap sebagai keunikan klien tersebut sehingga proses konseling dapat
mencapai tujuanya secara optimal yaitu menangani masalah klien serta meberikan
solusi masalah tersebut. sebaiknya apabila seorang kenselor melakukan kegiatan
konseling tanpa mempertimbangkan Etik, Emik. Maka konselor dapat menerima klien
dengan menggunakan etnosentrisme. Dalam hal ini perbedaan klien dianggap
sebagai tindakan yang salah bila konselor menggunakan etnosentri maka sudah
pasti klien merasa enggan dan tidak nyaman sehingga penciptaan suasan yang
harmonis dalam proses konseling hanya sebagai angan-angan saja. Dan juga proses
konseling tidak akan pernah mencapai tujuanya secara optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar